Storial: Yang Terjadi Jika Media Player Virtual Diputar

Pada pagi hari ini aku terpikirkan oleh suatu pertanyaan yang seringkali bergema di kepalaku, karena pertanyaan ini bagaikan terekam dan telah diputar berulang-ulang oleh suatu media player virtual. Kamu bisa membayangkan ada suatu audio player di suatu tempat dan audio player itu dinyalakan oleh suatu kekuatan yang tersembunyi, yang kehadirannya dan kekuasaannya tidak bisa kau kendalikan. Kekuatan yang tersembunyi itu memainkan suatu rekaman dari sebuah percakapan dalam kenangan. Sehingga terkadang aku tidak bisa membedakan apakah percakapan itu fiktif atau memang pernah ada. Pada pagi hari ini aku terpikirkan oleh pertanyan ini, “Mengapa kamu… dan beberapa orang seperti kamu tidak mau atau secara halus katakanlah tidak lagi meng-update status di WA story atau Instastory?”

Pada masa yang lebih mentah, sangat mungkin, aku akan menjawab pertanyaan ini dengan spontan karena telah menjawab pertanyaan ini berkali-kali. Selain itu karena aku memang telah terbiasa melontarkan sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan sebagaimana apa yang terlintas di pikiranku saat itu. Itu merupakan akibat dari terlalu banyaknya informasi yang kusimpan di kepalaku, sementara aku merasa hampir selalu overload dengan kacauanya dialog-dialog yang ribut dan kacaunya bukan main di kepalaku sendiri. Sebagaimana yang kita tahu dunia ini lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Sekali lagi, pada masa yang lebih mentah itu, sangat mungkin, aku akan menjawab pertanyaan itu dengan spontan bahkan boleh jadi itu adalah jawaban yang lebih jujur.

Lalu pada masa yang jauh lebih mentah lagi—masa yang lebih mentah dari masa yang mentah ini—mungkin aku akan menjawab dengan sinis. Jawabannya kira-kira seperti ini, “Entahlah aku tidak ada kepentingan apa-apa untuk update status di WA ataupun Instastory, itu seperti tak ada gunanya.” Dan di masa yang jauh lebih mentah ini idealisme lah yang membuatku menjawab dengan sinis. Seidealis apa aku tidak tahu, sebegitunya aku sinis dan tidak update status, aku pun tidak tahu. Sebegitu idealisnya, aku menambah jawaban dengan lebih sinis lagi, “Update status itu ada tempatnya tersendiri; Twitter dan Facebook. Kamu juga bisa lebih keren ketika menulis di blog dan akan jauh lebih keren ketika menulis buku. Update status di WA dan Instastory seperti tidak ada gunanya, kecuali kamu punya kepentingan untuk pamer.”

Kemudian di masa yang sangat jauh lebih mentah lagi, mungkin aku akan menjawab dengan sangat kasar dan sinisnya bukan main. Sebab aku merasa apapun yang berkaitan denganku, semua tentangku ya itu adalah hak ku, itu preferensiku. Dan tak ada hak mu untuk mempertanyakan itu semua, “Itu urusanku. Ngapain kamu ikut campur.” Bahkan sangat mungkin jawabanya akan lebih ngaco lagi kalau orang yang bertanya agak ngeselin, “Ngapain dah sok nanya-nanya, kayak beneran peduli aja. Kepo lu. Mau sok tahu aja. Ngapain dah sok ngatur segala.” Yah hari ini aku maklum, ketika seseorang dengan suatu pertanyaan kemudian dijawabanya dengan model seperti ini. Ya jawaban khas orang yang masih sangat mentah.

Dan hari ini. Well, hari ini aku pun tidak kurang mentah dari masa-masa yang sudah kusebutkan. Hari ini aku masih tetep saja seperti seseorang yang belum matang… belum dewasa dan bijak, dan masih seorang yang idealis. Tetapi ketika ada seseorang yang bertanya seperti itu, atau katakanlah ketika pertanyaan itu bergema lagi karena suatu audio player—yang memutar rekaman pertanyaan itu—dan berada di suatu tempat yang jauh dinyalakan oleh suatu kekuatan yang tersembunyi lalu aku pun tercenung dan terdiam merenung, linglung seperti orang yang kena tenung.

Begitu pula ketika ada orang yang menanyakan kabarku, aku diam tercenung. Aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan. Jika bisa… jika mampu… Si Penanya ini akan kupeluk, membiarkannya merasakan sendiri bagaimana keadaanku. Dan aku paling tidak suka jika dikasihani. Tetapi aku tidak mungkin memberikan jawaban sebagaimana jawaban orang yang masih sangat mentah di masa yang sangat mentah itu. Sebab orang yang banyak bertanya ini, yang mencoba mengajakmu berbicara ini disadari atau tidak adalah orang yang sangat berharga bagimu. Selain itu, banyak dari orang-orang yang seperti ini merupakan orang yang kesepian. Sudah sering aku katakan bahwa kesepian itu berada di dalam diri sendiri bukan di luar diri. Tentu saja, setelah apa yang terjadi selama ini, aku ingin sekali menemani orang-orang ini.

Kembali lagi. Ketika rekaman dari pertanyaan ini kembali diputar di sebuah audio player oleh suatu kekuatan yang tersembunyi, terpikirkan olehku ketika hidup berputar semuanya pun berevolusi. Bagiamana sebuah hidup kadang-kadang memang dilihat dari Instastory dan status WA, terkadang juga unggahan di Instagram. Jika hidup kadang dilihat dari hal itu, jangan marah. Pandangan hidup barangkali memang telah berubah. Banyak hal-hal yang memang itu perlu dikabarkan lewat media itu. Bisa jadi itu adalah indikasi bahwa kehidupan memang sedang berada di arah sana. Jadi seolah-olah orang yang tidak ikut berada di sana itu berarti dia tercerabut dari akar sosial dan universalitas. Ketika kamu berada di tempat yang berbeda sendirian, jauh dari orang lain kamu mengalami ketercerabutan dari kehidupan universalitas sosial.

Di masa ini aku lebih banyak ‘terdiam’, idealisme seakan sedang terbungkam dan aku tidak lagi menjawab pertanyaan itu dengan spontan, bahkan pertanyaan itu aku bawa kembali ke dalam rumah perenungan.

Keadaan membuatku banyak berpikir; kehidupan akan arus hidupnya itu sedemikian komplek. Seseorang harus bertahan dalam hidup. Bagaimanapun putusasanya… andai pun seputus asa tokoh-tokoh dalam banyak cerita karangan Ernest Hemingway, seseorang harus bertahan hidup. Temukanlah makna sebagaimana kesan Albert Camus yang ditulis dalam Mitos Sisifus, “Aspek keberadaan hidup ini memberi saya pertanyaan, bisakah saya beradaptasi dengannya?”

Bahkan keberadaan fenomena update status di WA, instastory dan unggahan di Instagram juga merupakan keberadaan hidup yang ikut memberi pengaruh pada hidup seseorang, apakah ia berada dalama pusaran hidup saat ini atau tidak.

Aku jadi teringat dulu sekali ketika itu sekitar tahun 2010–2015; pada kisaran tahun-tahun itu smartphone sedang bergeliat, Android touchscreen sedang mulai mekar dan menapaki jalan menuju kejayaan. Lalu ketika sedang jaya-jayanya Lenovo 3G, Samsung Gemini, Blackberry, ikut berkembang dalam pusarannya sebuah aplikasi yang hari ini kita kenal sebagai Whatsapp. Semua orang tergagap dengan fenomena baru ini. Lalu ketika orang-orang mulai lancar dengan WA dan BBM—yang hingga saking populernya WA— pengembang BBM pun melakukan gambling dengan menempatkan aplikasi andalanya itu di playstore yang mana itu adalah kesalahan yang paling fatal. Perubahan sosial arus sosial saat itu sedang berpusar di situ. Sementara aku tidak punya BBM ataupun WA, karena memang tidak punya android juga. Hampir semua orang berpusat pada seputar media sosial dan komunikasinya berpusar pada pin BB.

Aku pun teringat suatu masa, ada seorang perempuan yang diam-diam aku sayangi. Kami berbeda jurusan pendidikan yang kebetulan bertemu di kelas yang sama pada mata kuliah Bahasa Inggris di Fakultas Bahasa. Perkulihan itu hanya satu semester saja, dan di akhir perkuliahan ia menanyakan pin BB-ku, aku nyengir kuda. Barangkali itu adalah saat yang pernah aku sesali. Sebenarnya kami saling nyaman satu sama lain, tetapi terkendala dengan komunikasi. Sudah begitu, aku tipe orang yang hanya bisa ditemukan di sudut perpustakaan universitas atau di sebuah tempat di sudut kampus. Suatu hari aku mendengar kabar dia berpacaran dengan seseorang, dan bodohnya aku pun patah hati. Lebih parahnya dia berpacaran dengan seseorang yang lebih dewasa, jadi pacaran itu tampak sangat serius. Aku makin patah hati. Tiga tahun kemudian aku mendengar kabar dia putus dengan pacarnya dan itu adalah saat-saat yang jauh lebih sulit bagiku, tetapi kami sempat bertemu. Sikapnya sangat baik dan begitu manis padaku. Tanpa bisa kutolak, harapanku tumbuh kembali. Tetapi aku sangat terlambat, mantan pacarnya itu sangat serius dan berusaha sangat keras untuk membenahi hubungan mereka yang sangat indah dan sayang jika menjadi tidak berarti. Mantan pacarnya itu benar-benar tahu bahwa perempuan ini adalah permata yang sangat indah, anggun dan tutur katanya sopan lagi lemah lembut dan sangat cerdas, bibit unggul banget lah. Mantan pacar mati-matian dan usahanya berhasil, perempuan ini pun memberikan kesempatan kedua dan berhasil diyakinkan lalu keduanya menikah. Aku pun patah hati lagi.

Pada masa-masa ini lah aku tereliminasi dan tidak ikut dalam pusaran arus itu. Malahan aku justru masuk ke dalam dunia blog ketika, katanya, kejayaan blog sudah menurun. Jadi aku tidak banyak bertemu dengan orang-orang yang berkecimpung di sana, tidak banyak berkenalan dengan penulis-penulis hebat—kecuali akhir-akhir ini membaca tulisan-tulisan hebat ketika sudah agak sibuk dan tidak berani mengimpikan untuk kopdar, lah memenejemen waktu sendiri aja sudah kembang kempis. Pada masa-masa itu katanya blog sudah melewati masa jayanya, sehingga aku tidak banyak mengenal blogger dan segala sepak terjangnya.

Pada masa-masa itu, saat semua orang membicarakan android dan WA-nya membicarakan BBM status dan pinnya, aku tidak punya apa-apa. Kemudian tanpa kuduga aku tenggelam, aku seperti seseorang yang mengasingkan diri ke dalam gua. Tak ada orang yang tahu kehidupanku. Bahkan ada yang pernah komentar dengan nada yang kaget seperti mengejekku setelah tidak eksis lagi. Saat itu telah beberapa bulan tidak bertemu, “Loh kamu kemana aja? Aku kira kamu sudah pindah negara.” Bahkan mungkin jika digosipkan kalau aku sudah mati pun mereka akan percaya. Baiklah itu berlebihan.

Ini merupakan semacam kontemplasi bahwa pusaran arus selalu terbawa oleh banyak orang di sekitarmu. Ketika kamu menjadi orang yang berbeda yang tidak masuk dalam arus sosial, kamu secara tidak langsung tercerabut dari akar sosial itu.

Jadi hari ini, di masa yang tidak sementah itu, semakin pertanyaan-pertanyaan yang membuatku termenung. Bahwa setiap arus berubah sesuai zaman. Sebagaimana kata-kata terkenal dari Charles Darwin, “Survive of the fittest,” mereka yang tidak bisa beradaptasi dengan zaman akan tergerus. Aku lebih banyak merenung, ketika aku tidak ikut dalam arus sebagaimana pesan Sunan Kalijaga “Angeli ning banyu ananging ora keli.” Mengalir dalam air tetapi tidak hanyut, aku seperti orang yang berbeda dan cenderung mengasingkan diri. Aku tercenung kenapa aku masih idealis. Seakan-akan di masa yang lebih mentah aku tidak mau ikut dengan pola-pola seperti itu. Dan di masa yang sekarang ini aku lebih banyak kembali banyak merenungkan sifat perputaran arus sosial yang berada di mana-mana dengan beragam bentuknya. Sementara aku tidak ikut dan tidak meramaikan atau tidak terlihat di sana itung-itung berbaur dengan teman yang lain sekedar menampakkan diri dan eksis, mengapa aku tidak melakukannya? Ataukah aku sebegitunya tidak ingin berbaur dengan manusia lain atau bagaimana, aku tidak begitu paham dengan masalah ini.

Masa ini, sering membuatku termenung. ketika ada hal-hal tertentu, sekarang aku lebih banyak berpikir dari pada menjawab secara sepontan. Masa-masa ini, dan masa-masa yang lebih mentah membuatku belajar, membuatku instrospeksi.

2 thoughts on “Storial: Yang Terjadi Jika Media Player Virtual Diputar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: