Sebuah Jurnal: Kalimat yang Sukses Mengejek Diriku

Entah mengapa dulu aku begitu ingin menjadi penulis. Mungkin aku mengira jika aku menjadi penulis maka aku sedang terjun ke dalam suatu dunia yang hebat; mendalami sebuah seni, menjalani tradisi intelektual dan bertransformasi bersama kaum-kaum pintar; membuat prasasti keabadian, dan bernafas dalam dunia yang penuh dengan kebebasan.

Tapi kini aku mulai sadar, penulis terbentuk karena ada semacam panggilan jiwa, bukan sebuah obsesi ataupun ambisi, terbentuk karena masa tertentu dan situasi tertentu. Dan jiwaku pun tidak terpanggil untuk sekadar menulis guna menandai suatu kondisi yang sedang terjadi pada zamanku ini. Jiwaku tidak terpanggil untuk menyuarakan pikiran sebagai reaksi atas realitas yang terjadi saat ini. Aku hanya menulis supaya aku tidak lupa, sekedar meninggalkan jejak untuk diriku sendiri yang kelak bisa aku kenangkan. 

Seringkali yang kutuliskan hanyalah kata-kata yang tak bermakna, tak ada kaitannya satu sama lain, tak membentuk kalimat atau struktur tema yang jelas yang terlintas di dalam pikiranku. Aku menuangkan mereka berserakan di mana-mana. Terkadang yang kutulis hanyalah kalimat-kalimat yang bergema di pikiranku sesederhana kalimat lengkap SPO atau SPOK.

Di luar sana sedang hujan, pun itu tidak berarti apa-apa untuk malamku, sebab malamku sama seperti malam-malam yang sudah sudah… kuhabiskan untuk membaca dan menulis. Tiga atau empat kepingan tulisan aku rangkaikan, lalu aku teringat dengan kalimat Pak Quraish Shihab, beliau berkata lebih kurang begini “Anak muda yang banyak membicarakan tentang masa lalu, secara psikologis ia sudah tua. Sedangkan orang tua walaupun sudah berumur 60 atau 70 tetapi masih semangat membicarakan tentang harapan dan masa depan, secara psikologis dia masih muda.”

Aku tersentak dengan kalimat itu.

Kalau dipikir-pikir, kalimat itu ada benarnya. Aku jadi malu. Kalimat itu seakan mengejekku. Dan kukira kalimat itu benar-benar mengejekku dengan sangat sukses. Umurku masih di bawah 30, tetapi tidak punya gairah yang hebat dan penuh optimisme akan hari esok. Jiwaku meredup dan tak menyala-nyala seperti dulu kala, seperti yang seharusnya yang selalu kawan-kawanku ingat akan sosokku; pemuda yang penuh semangat dan pantang menyerah.

Kukira sekarang aku mengerti apa yang membuatku galau luar biasa. Aku terlalu merisaukan hari esok, menjadi pengecut yang selalu gamang.Well, selamat, Ndi… kamu sekarang tahu apa yang mengganggumu. Setelah ini kamu akan baik-baik saja. Kamu tak perlu menjadi penulis, jadilah apa pun… kobarkan api dalam dirimu! Mengenang adalah pekerjaan para pensiunan, kamu bukan orang seperti itu. Aku melihat, masa depan yang cerah masih menantimu. Semangat!!!

15 thoughts on “Sebuah Jurnal: Kalimat yang Sukses Mengejek Diriku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: