Meme, Bukan Sekedar Cuplikan Film yang Dimodifikasi dengan Kata-kata Lucu!

Sepertinya, aku, nggak butuh-butuh amat dengan medsos dan informasi yang bertebaran di internet. Tetapi kenapa aku merasa seolah-olah dipaksa untuk butuh itu semua?

Aku pernah menutup/meninggalkan instagram dan facebook juga mengurangi penggunaan Whatsapp beberapa waktu yang lalu. Tidak ada yang berubah. Aku tidak menjadi lebih bodoh, tidak pula menjadi lebih pintar. Sebenarnya aku memang tidak pernah benar-benar membutuhkannya.

Lalu mengapa aku kembali menggunakannya belakangan ini?

Sebelum lanjut baca, ketahuilah bahwa tulisan ini cukup panjang dan rumit. Terima kasih kamu telah meluangkan waktunya untuk membaca dan membiarkan aku ber-silaturahim ke dalam alam pikiran mu. Sungguh aku ingin terhubung dengan kalian dalam ide ini. Karena aku percaya sebagian manusia bisa terhubung dan berdialog melalui pikiran karena bisa jadi di dalam tubuh kita menyimpan DNA dari moyang yang sama.

Baiklah mari kita lanjutkan. Lalu mengapa aku kembali menggunakan Instagram dan Whatsapp belakangan ini?

Pada mulanya aku menggunakannya untuk berkomunikasi dengan calon istriku (sekarang sudah sah menjadi istriku). Ia butuh mengenalku melalui instagram, katanya dulu, ketika ia masih menjadi calon istriku. Aku pun kemudian memanfaatkannya untuk mengenalnya lebih dekat. Dan aku membutuhkan Whatsapp untuk berkomunikasi lebih intens, karena memang saat itu ada jarak fisik yang tidak memungkinkan bagi kami untuk bertatap muka kapanpun kami menginginkannya.

Sekarang setelah kebutuhan untuk saling mengenal melalui kedua media itu tidak terlalu dibutuhkan lagi, apakah aku akan kembali meninggalkannya?

Aku masih mempertimbangkannya.

Aku sempat termenung, ketika John Terry, mantan pemain dan Kapten Chelsea itu dan satu orang lain lagi aku lupa siapa, membuat pengumuman secara resmi bahwa ia akan berhenti dan menutup semua akun medsosnya.

Kejadian tersebut, membuatku merenung lagi dan sejujurnya aku tidak pernah benar-benar membutuhkannya (medsos itu). Aku melihat orang lain, generasi tua, tetap baik-baik saja, tidak menyentuh medsos-medsos ini. Tetapi kenapa aku merasa seolah-olah dipaksa untuk butuh itu semua?

Saat tulisan ini ditulis, sedang berkembang isu yang begitu hangat yaitu Pemerintah China sedang menerapkan aturan ketat soal pengelolaan data, sementara yang terjadi di Indonesia, perlindungan terhadap data begitu lemah atau malahan cenderung diabaikan. Kudengar sekarang ini sedang terjadi kebocoran data yang terhimpun di aplikasi eHac yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan. Kalau berpikir sederhana,memangnya kita ini siapa, kok data begitu saja sampai ada yang meluangkan waktu untuk mencurinya. Tetapi membaca kenyataan yang sepertinya benar sedang terjadi, itu adalah satu hal, tidak sesederhana yang kita pikirkan.

Aku merasa, aku telah terjebak pada sebuah kondisi yang buruk dan cenderung berbahaya. Ada sesuatu yang mengendalikannya di belakang ini semua, yang bekerja sama menuntunku untuk memiliki pikiran bahwa aku sangat membutuhkannya dan akan mati tanpa semua itu.

Ah ya itu pasti meme yang tidak akan memaksimalkan kehidupanku dan cenderung berbahaya.

Hal terpenting bagiku sekarang adalah menuliskan apa yang sedang aku tuliskan ini untuk memprogram kembali diriku sendiri karena virus akalbudi yang berwujud “bahwa aku membutuhkan medsos dan akan mati tanpanya” ini mulai menggangguku. Aku akan memprogram ulang meme yang telah menggangguku.

Apa itu Meme?

Aku tadi menyebut meme, apa sebenarnya meme itu?

Terus terang saja, sulit didefinisikan.

Beberapa waktu yang lalu kebetulan aku sedang membuka sebuah medsos, sebut saja  instagram, dan berinteraksi dengan akun mizanstore (toko buku online). Akun itu memang sedang membahas beberapa kata yang sekarang sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI. Salah satu kata yang muncul dan menarik perhatianku adalah meme.

Akun itu menyatakan, berdasarkan KBBI, meme adalah cuplikan gambar dari acara televisi, film, atau gambar buatan sendiri yang dimodifikasi dengan menambahkan kata-kata untuk tujuan melucu/ menghibur.

Karena merasa bahwa pengertian itu begitu sempit, aku lantas berkomentar: “Meme menurut yang saya baca, mengacu pada “Virus of The Mind” yang ditulis oleh Richard Brodie, pengertiannya gak sesederhana itu. Jika hanya gambar atau cuplikan yang diberikan kata-kata lucu itu hanya media penyebaran ‘Meme’ bukan ‘meme’ itu sendiri. Gambar atau cuplikan yang lucu-lucu merupakan bagian kecil dari ‘Meme’. Perlu nih diperdalam lagi definisi (Meme) di KBBI.”

Saat itu, aku tidak bisa menjelaskan dengan baik. Tetapi meme memang tidak sesederhana itu.

Sekarang di sini aku akan mencoba menjelaskan secara singkat apa itu meme, apa manfaatnya bagiku setelah mengetahuinya dan  bagaimana pengaruh meme dalam kehidupan ini.

Meme merupakan sebuah ruang atau ranah abstrak dalam pikiran manusia yang bisa dijangkiti oleh virus akalbudi, atau virus yang mendasari orang untuk memiliki pemikiran dan sudut tertentu terhadap sesuatu. Yang pada gilirannya, meme yang sudah menjangkiti akalbudi manusia, mempengaruhi perilaku dan cara pandangnya terhadap segala sesuatu sedemikian sehingga manusia akan melestarikan meme dalam dirinya dan akan menyebarkannya kepada yang manusia lain. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa meme ini bisa bertahan sangat lama, bahkan melampaui generasi dan zaman.

Boleh dibilang manusia hidup untuk melayani meme, bukan mengendalikan dirinya sendiri.

Beberapa meme memang sengaja diciptakan dan disusupi virus akalbudi untuk merusak, sebagaimana virus komputer diciptakan dan disusupkan malware untuk agenda seperti phising, agenda perusakan dan kejahatan.

Bagaimana? Masih rumit? Ya memang rumit banget penjelasannya.

Bagaimana kalau penjelasannya begini: “Meme merupakan unsur utama informasi di dalam akalbudi yang keberadaanya mempengaruhi berbagai peristiwa sedemikian rupa sehingga tercipta lebih banyak salinan meme itu di dalam akalbudi orang lain.” — Richard Brodie Virus of The Mind.

Aku bisa bilang, meme merupakan suatu bagian dalam ruang pikir manusia yang bisa didoktrin atau diprogram baik melalui indoktrinasi langsung atau tidak langsung, terselubung melalui medium lain. Mengapa ruang pikir? Sebab meme itu, sebagaimana piranti lunak pada komputer, tidak bisa disentuh dengan panca indera namun bisa dijalankan dengan program tertentu untuk memproses, mengerjakan dan menyelesaikan suatu tugas tertentu.

Pandemi ini merupakan rekayasa, itu adalah sebuah contoh meme yang sedang menyebar dengan deras. Pandemi ini berbahaya dan bisa membunuh sekian banyak jiwa, itu juga meme. Bahkan aku sempat kepikiran untuk membuktikan pernyataan seseorang yang pernah menjadi trending di media, “Setelah mereka berhasil menciptakan pandemi, maka akan terus diciptakan pandemi lagi.” Yah, semoga setelah ada varian Delta akan ada varian lagi, varian Gamma, Kappa (yang sudah muncul tetapi belum menjadi isu hangat). Sejujurnya aku tidak ingin itu terjadi, karena aku sudah lelah dengan semua ini, tetapi itu adalah sebuah hipotesis yang akan segera terjawab.

Meme paling mudah menyebar dan menjangkiti dalam suasana atau situasi krisis, yang mencekam banyak orang. Karena dalam diri manusia sebenarnya sudah tertanam meme untuk mempertahankan dirinya agar terus dapat bertahan hidup menghadapi seleksi alam.

Ketika kepanikan menyebar, atau bisa kita duga memang sengaja disebarkan, terjadilah krisis. Dan hal-hal yang semula hanya barang biasa dan tidak esensial berubah menjadi barang yang istimewa. Dan tiba-tiba segalanya menjadi tidak masuk akal. Kita semua tahu, masker tidak harus semahal itu, tetapi harganya justru meroket. Dan entah apa yang dipikirkan oleh pemerintah ketika memerintahkan lockdown total ke seluruh penjuru negeri, ketika imbas dari virus itu, yang saat itu baru terasa hanya di ibukota saja? Dan ya, yang terjadi adalah chaos dan kepanikan menyebar di benak masyarakat Indonesia. Coba kita pertanyakan kembali dan renungkan kembali, apakah jika keputusan lockdown itu, dulu, tidak dilakukan, apa yang pernah dulu kita khawatirkan itu akan terjadi? Buktinya toh sekarang juga ada pembatasan, ada pelanggaran, ada hal-hal lain… yang semula kita duga sangat berbahaya, menjadi biasa saja. Jujur saja, aku sinis dengan keadaan dan kenyataan yang selama ini terjadi. Dan oh apa yang terjadi, terjadilah!

Jangan-jangan selama ini kita (dalam hal ini saya atau aku) dikibuli oleh sejarah, yang sebenarnya tidak menguntungkan saya dan Anda. Sebab siapa yang menguasai media, dialah yang menguasai meme. Oleh karenanya dialah yang akan campin bertahan hidup dan berkembang biak. Dan sejarah yang sedang ditulis hari ini akan melayani kejayaan mereka yang menciptakan virus akalbudi ini menjadi meme dalam diri kita.

Kita, yang tidak tahu menahu tentang bagaimana sebenarnya Corona hingga variannya sampai delta, Gamma, Kappa; vaksin a b c dan sebangsanya tetapi malahan ikut-ikutan menyebarkan informasi itu—perlu aku tekankan lagi, kita tidak pernah benar-benar tahu dan hanya sok tahu atau ikut-ikutan tahu—sesungguhnya telah menjadi meme dan terjangkiti virus akalbudi dan menganggap corona dan variannya sampai vaksin a b c dan sebangsanya sebagai sebuah kebenaran. Dan itu artinya kita tidak ada bedanya dengan orang-orang baheula yang percaya bahwa bumi adalah pusat alam semesta, bahwa bumi itu datar, bahwa matahari adalah dewa yang wajib disembah dan sebangsanya begitulah. Dan pula kita menjadi tidak ada bedanya orang-orang dan zaman now, yang percaya bahwa bumi itu bulat, tetapi berdasarkan katanya atau meyakini bahwa bumi benar-benar bulat dari buku IPA SD itu. Mau bumi datar, bulat telur kek, kotak kota kek terserahlah, untuk orang-orang yang ikut-ikutan, sebenarnya gak ada bedanya.  

Orang-orang seperti kita yang tidak mampu menahan laju penyebaran virus yang menyebar melalui meme dalam diri kita, akan menjadi medium penyebaran virus akalbudi berikutnya dan menjadikan meme tersebut abadi atau campin melalui orang lain yang telah tertulari oleh kita dan pada giliran berikutnya akan menularkan ke orang lainnya lagi. Kasarnya, kita adalah domba-domba yang menjadi perantara dan pelaku penyebaran meme itu.

Dan kukira benar dan menjadi sangat masuk akal kata-kata yang diucapkan Cak Nun, dulu sekali, di Kenduri Cinta bahwa “kita hidup dalam lautan ilusi.”

Ilusi yang kebenarannya, jangankan dipastikan, diraba saja sangat sangatlah sulit.

Sungguh, sebagian besar ilusi dalam hidup kita diciptakan oleh orang lain. Dan parahnya lagi, kita mensifati hal itu sebagai permakluman, kalau tidak mau dibilang kita mensifati hal itu sebagai kebenaran yang kadung kita percaya.

Untuk melawan virus adalah dengan virus, untuk melakukan counter terhadap program adalah dengan program. Dengan menulis ini, aku sedang berupaya membuat program untuk memprogram ulang meme yang sudah berada dalam diriku. Bahwa sekarang, aku mengenakan masker dan melakukan vaksinasi sampai dua kali semata-mata karena Corona mungkin ada, dan aku bersyukur kepada Allah akan tubuh yang diberikan kepadaku, dan aku menyayangi tubuhku adalah sebagian tanda bahwa aku bersyukur akan nikmat Allah itu. Titik. Jangan kira karena aku takut apalagi percaya bahwa Corona akan membunuhku. Tidak! Pemerintah ngomong gitu dan aku manut itu semata-mata karena aku berupaya untuk athi’ullaha wa athi’u rosula wa ulil amri minkum.

Wis gak usah aneh-aneh! 

Yang bisa kita lakukan untuk melawan serangan virus akalbudi adalah memprogram ulang meme yang telah menjangkiti kita. Dengan demikian meme itu tidak akan menyebarkan virus lagi ke orang lain. Dan paling penting adalah melindungi kita dari kerusakan yang ditimbulkannya. Kita mungkin sudah terjebak dalam program pikiran yang disusupkan orang lain kepada kita melalui berbagai sarananya. Kita masih bisa memprogram ulang, selama kita masih menganggap ilusi yang kita terima, informasi yang kita terima selama ini, bukanlah satu-satunya kebenaran.

Demikian, saya Andy Riyan dari Desa Hujan. Salam!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: