Jurnal Siang: Apa Yang Kamu Pelajari Selama Pandemi?

Matahari telah naik ketika aku duduk di tahta kebesarnku. Di hari lebaran yang keempat ini aku sudah kembali bekerja, bekerja di rumah saja. Ikut berpartisipasi aktif untuk menyelamatkan dunia. Tetapi belum lama aku duduk dan sempat menuliskan beberpa kalimat, karena diminta sama ibu, bapak yang sedang punya banyak waktu longgar mengajakku membuat kandang ayam di belakang rumah.

***

Lalu ketika aku kembali, hari sudah siang. Dengan ditemani segelas-besar sirup yang dingin nan segar dan sepotong coklat aku duduk dan berpikir. Kemudian aku mulai merumuskan apa yang sempat terbesit dalam benakku. Salah satunya soal kebijakan pemerintah dan reaksi netizen.

Pemerintah ingin segera melakukan percepatan pemulihan ekonomi. Makanya pemerintah mulai mengatur skenario dan menyusun aturan-aturan baru dalam sistem kerja yang akan diterapkan nanti ketika situasi ‘Normal Baru’ dijalankan; rencananya akan dimulai pada tanggal 5 Juni nanti. Untuk melakukan percepatan pemulihan ekonomi ini, pemerintah akan membuka kembali ijin beroperasi di mall-mall, yang lantas menuai banyak reaksi dari netizen; mengapa harus mall? Bukan pasar, pabrik, layanan logistik atau apa saja selain mall, mengapa harus mall? Pertanyaan itu sampai sekarang masih belum terjawab. Aku juga tidak paham mengapa harus mall, tetapi aku juga tidak paham mengapa memangnya kalau dimulai dari mall dulu? Ada apa sih sebenarnya antara pemerintah dan publik ini. Tengkar mulu! Adakah memang sedemikian buruk komunikasi antara dua belah pihak ini? Pemerintah bagaimanapun selalu saja menuai kritikan. Komunikasi yang buruk memang momok yang sangat menghawatirkan yang terjadi di dalam sebuah relasi apa pun itu. Jangan-jangan ada orang yang sedang mengail di air keruh. Kita musti hati-hati lho gaes.

Kebijakan pemerintah dalam upaya percepatan pemulihan ekonomi dan perumusan gagasan untuk menuju tatanan hidup baru juga menuai protes dari banyak kalangan dan ahli. Ahli apa? Aku tidak tahu mereka itu ahli apa, ahli maido mungkin, ahli beradu argumentasi, mungkin juga. Para ahli ini masih ragu untuk mendukung wacana pemerintah yang ingin segera menerapkan tatanan hidup baru itu, kata mereka masih banyak hal yang belum dipersiapkan. Mereka juga menyayangkan sikap pemerintah yang terlalu buru-buru ketika penularan coronavirus 2019 ini masih sangat tinggi, sementara vaksin dan perlengkapan kesehatan seperti uji swab maupun polymers belum memadahi. Mereka, para ahli ini, tidak mendukung pemerintah karena khawatir akan terjadi gelombang pandemi kedua, yang diproyeksikan akan jauh lebih berbahaya. Di sini aku mulai pusing, kalau para ahli di sini saja tidak mendukung pemerintah, sebenarnya pemerintah ini… ketika hendak mengambil keputusan untuk memberlakukan normal baru mengikuti saran siapa sih? Dan berani mengambil keputusan ini berdasarkan data apa? Kok mendadak surem sekali ya.

Dalam pemberlakuan normal baru nanti, pemerintah akan menerjukan aparat TNI-Polri untuk turun ke jalan-jalan guna menertibkan keadaan selama normal baru dijalankan. Dan ‘akan’ memberlakukan dengan ketat protokol pencegahan penularan. Masih wacana sih… tapi ketika nanti TNI-Polri sudah turun jalan, publik yang tidak patuh akan berhadapan langsung dengan aparat keamanan ini, mereka sudah diberi mandat, mampus lu kalau masih ngeyel aja… normal baru belum dijalankan aja netizen sudah protes, ada yang bilang ini namanya survival of the fittest, apa itu herd immunity, publik tahunya cuma hurt immunity. Ini suicide! Charles Darwin tertawa di dalam kuburnya.

Dalam tatanan hidup baru ini, pemerintah konon telah meluncurkan aplikasi yang diberi nama “Bersatu Lawan Covid-19” yang bisa diunduh di playstore. Tadi aku sudah ngecek, di playstore memang ada, tetapi aku belum mencobanya. Lho iki piye, jare kemarin akan berdamai dengan covid, kok aplikasinya ‘lawan’. Setiap orang yang mesti melakukan perjalanan nanti akan diwajibkan untuk melakukan registrasi di aplikasi tersebut. Sepertinya aplikasi yang akan sangat membantu. Usernya nanti akan terpantau dan terpetakan dengan jelas.

Matahari sebentar lagi tergelincir. Aku sudah lupa, sudah berapa kali matahari terbit dan tenggelam selama pandemi ini berlangsung. Selama itu pula aku tidak menghasilkan sebuah karya; tidak puisi cerpen ataupun potongan novel. Jadi selama pandemi ini apa yang telah kupelajari? Kutemui orang-orang sering bilang mereka telah belajar banyak hal, sementara aku bertanya pada diriku sendiri apa yang kupelari? Aku tidak banyak belajar hal-hal baru, hanya mengulang-ulang apa yang sudah kupelajari semula, ah betapa tak produktifnya aku, aku cuma mengulang-ulang bagaimana aku melakukannya agar ketika hendak menuangkan gagasan dalam tulisan dapat mengalir dengan lancar. Aku menemukan sebuah kunci agar bisa mengalirkan tulisan lebih mudah, yakni berbasa-basi dulu.

Sebab terkadang terbentuknya sebuah percakapan yang bagus dan mendalam antara dua orang manusia atau lebih dapat terjadi setelah diawali oleh pembahasan yang sedianya cuma remeh temeh. Demikian pula penyampaian bahasa ungkap yang lebih pas dalam bahasa tulis-menulis antara penulis dan pembaca akan ikut mempengaruhi cita rasa bagaimana sebuah gagasan tersebut diuraikan, sedemikian rupa apa yang ingin disampaikan oleh penulis dapat tertampung di dalamnya.

Pembukaan remeh temeh itu lah yang selama ini aku rasakan paling sulit untuk dimiliki dan dipelajari. Rasa-rasanya aku tuh memiliki segudang ide di dalam pikiranku; gagasan-gagasan yang saling bekejaran dan berlari-lari itu susah ditangkap dan diformulasikan ke dalam bahasa tulisan.

Terkadang dalam 10 menit berbicara dengan lawan bicaraku, aku bisa menumpahkan banyak kalimat-kalimat yang saling tumpang tindih tak ada bentuknya. Aku sendiri merasa telah menyampaikan sesutau berdasarkan pola-pola yang dapat dimengerti, namun aku tersenyum kecut ketika pada kesempatan lain aku memperdengarkan rekaman obrolan kami dengan teman bicaraku itu.

Sebuah narasi yang kubangun saat bercerita terkesan seringkali terputus-putus, kadang tergesa-gesa ingin segera mencapai intinya. Sehingga apa yang aku sampaikan polanya sangat kasar dan terlalu tajam naik turun seperti sandi rumput. Singkat kata, aku tak pandai berbicara ataupun bercerita.

I’m worse at what I do best. And for this gift I feel blessed. Our little group has always been and always will until the end~ Nirvana

Kata-kata yang keluar seringkali belepotan, slip lidah sering pula terjadi dan sering tertukar-tukar antara satu sama lain. Mulutku tak bisa mengikuti kecepatan pikiranku, Hadeh! Apalagi saat terlalu bersemangat, omonganku bisa sangat kacau dan tak jelas apa narasinya.

Jadi apa yang kulakukan setiap hari, menulis dan membaca nyaring, sebetulnya tidak hanya sedang menumpahkan gagasanku, tetapi juga sedang belajar merangkai kalimat. Aku menulis untuk meningkatkan skill bicaraku, menyusun kembali dengan sistematika yang lebih halus dan fleksibel. Tak pernah berhenti belajar itulah diriku.


Jurnal Siang, ini sebenarnya jurnal pagi yang kebetulan terbitnya siang, karena menulisya pun kesiangan, sedang pindah tayang aja. Ha ha ha

4 thoughts on “Jurnal Siang: Apa Yang Kamu Pelajari Selama Pandemi?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: