
Aku sudah sering bilang sebelumnya, di tangan yang tepat teknologi dapat memberikan nilai tambah dan kebermanfaatan pada suatu benda atau platform yang ada, bisa juga sebaliknya justru cepat merusak tatanan sosial yang sudah berdiri kukuh dan memperlebar kesenjangan di tengah kehidupan masyarakat apabila berada di tangan yang salah.
Aku pernah memberikan sebuah contoh, smartphone, di tangan orang-orang yang betulan smart dan bijak, ia akan sangat membantu penggunanya dalam menuntaskan berbagai perkjaan dengan lebih cepat dan efisien. Namun di tangan yang sebaliknya, ia akan mempercepat hubungan sosial yang kurang beretika, mempercepat penyebaran video porno, maraknya hoak dan komunikasi tanpa tata krama, bahkan akan digunakan sebagai alat kejahatan.
Sekali lagi aku ingin mengutip petuah Gus Mus yang dulu pernah aku tulis diblog ini juga melansir dari wawancara beliau di salah satu video youtube. Ketika Gus Mus dimintai pendapat tentang positif dan negatifnya media sosial (twitter, instagram, facebook) beliau menjawab bagi beliau adalah hal yang positif. Kurang lebih begini kata pengasuh Pondok Pesantren yang terkenal di Rembang itu :
“[…] karena yang di twitter itu orangnya hebat-hebat. Di sana ada ahli politik, ada ahli diplomat, ada bahkan ada ahli busana, ada ahli teknologi […] banyak sekali. Jadi saya dengan di sana bisa ngaji ke mana-mana. Ya jadi tinggal follow aja ini ini […] setiap dia ngomong saya perhatikan. Tak harus mondok seperti dulu jauh-jauh… kan tinggal buka; klik […] ada yang ahli fekih, ahli tasyawuf. Ada keahlian-keahlian yang saya gak mungkin ngerti… .”
Nah pengalaman yang kurasakan tidak jauh berbeda dari pengalaman Gus Mus ketika berselancar di Twitter. Beberapa waktu yang lalu aku kebetulan berkenalan dengan salah seorang pengguna Twitter yang ternyata ia sedang menempuh pendidikan di Jurusan Gizi. Kami kemudian berdiskusi tentang banyak hal yang selama ini tidak pernah aku tahu dan mungkin tidak akan pernah tahu kalau tidak berdiskusi dengannya. Ia memberi aku banyak informasi gratis, jadi aku berkonsultasi dengannya sesuai bidang yang dia tekuni, salah satunya adalah mengenai kalori yang dibutuhkan oleh tubuhku jika aku ingin hidup sehat. Lain kali kalau ada kesempatan akan aku jabarkan hasil diskusi itu.
Nah di twitter juga aku belajar sedikit tentang kegaduhan yang sedang terjadi di luar sana. Dandy Laksono bersuara sangat lantang menyikapi surat edaran atau pers yang dikeluarkan oleh UI yang berjudul “Tanggapan UI atas Kegiatan Diskusi Publik BEM UI”. Salah satu cuitannya yang menarik perhatianku ketika dengan keras ia mengritik pemerintahan Jokowi. “Imajinasi Jokowi tentang sumber daya manusia Indonesia, mungkin tercermin pada sebagian menu kursus Kartu Prakerja.” Lebih lanjut dia menambahkan, “Dia lupa, bangsa ini didirikan oleh para pemikir, sekaligus pemberontak. Inovator-inovator besar justru lahir dari sikap menolak kemapanan. Itulah disrupsi.”
Ada kata ‘disrupsi’ di sana. Kemarin, di tulisan sebelum ini aku sempat menyinggung kata itu, tetapi belum menjabarkannya lebih lanjut.
Menurut KBBI, disrupsi adalah sebuah kata benda yang berarti ‘hal tercerabut dari akarnya.” Hal tercerabut dari akarnya? Masih susah dimengerti kan?
Jadi begini, yang aku pahami soal disrupsi, ia adalah sesuatu yang menggantikan cara-cara lama dengan cara yang lebih baru, bisa bersifat destruktif atau merusak dan menghambat bisa juga dengan cara-cara kreatif.
Disrupsi pada media cetak misalnya, yang sudah sedikit disinggung pada tulisan yang lalu, terjadi peralihan media baca dari koran cetak dan buku ke koran online dan ebook atau pdf. Disrupsi media berpengaruh dengan cara jurnalis menyampaikan isi berita. Jurnalis dan media-media online lebih sering menempatakan kata-kata yang bombastis sebagai headline, bahkan tidak jarang menempatkan judul yang klik bait, itu adalah salah satu contoh kecil dari akibat disrupsi. Akibat itu seperti tak bisa dihindari, dengan adanya teknologi internet, media arus informasi seperti dituntut untuk serba cepat, maka yang terjadi adalah kedangkalan informasi yang kadang melupakan sisi humanisnya.
Pergeseran pada alat komunikasi juga menyebabkan disrupsi besar-besaran. Dulu ketika hendak berbicara kita mesti sowan dan menggunakan tata cara dengan segenap etika. Sekarang bergeser, komunikasi cukup dengan cahtting, tidak perlu mandi dan dandan terlebih dahulu.
Apa yang harus dilakukan dalam menghadapi era disrupsi ini?
Pengajaran dasar-dasar kemanusiaan dan pengajaran pada pemahaman aspek yang fundamental aku rasa lebih penting dari pada pengajaran untuk bertindak kreatif dalam membentuk atau membuat komponen baru yang siap pakai pada era disrupsi. Pengajaran dasar-dasar kemanusiaan, etika dan akhlak serta pemahaman yang fundamental akan tetap bisa menempatkan manusia pada sebuah era apapun eranya. Pengajaran dasar itu tetap akan mampu menyesuaikan diri untuk menghadapi berbagai kemungkinan tanpa harus melupakan sisi humanisnya.