Jurnal Pagi: Temanggung, 19 Mei, Membicarakan Tentang Buku

Bukan Bandung 19 Oktober tetapi Temanggung 19 Mei, jadi tulisan ini enggak Seurieus. Tapi hujan dini hari tadi membuatku mager untuk lari pagi dan sejenak membuatku bingung apa yang akan kutulis untuk mengisi jurnal pagi. Walhasil aku cuma guling-guling gak jelas sambil googling di Yahoo—kata Cak Lontong gitu, kalau googling coba ganti di Yahoo—mencari judul-judul buku yang sekiranya nanti bisa masuk ke dalam daftar buku yang akan dibeli. Belakangan ini tampak sekali aku begitu bingung, buku apa yang sekiranya akan aku baca. Aku tidak begitu suka buku-buku populer yang dibaca banyak orang, tetapi kalau memilih secara acak, yang penting tidak terkenal, juga tidak sanggup; jarang sekali ada buku yang tidak populer tapi bagus.

Ketika aku mampir di base para pencinta buku, orang-orang pada ngomongin buku-bukunya Rick Riordan, apa deh! Sekarang ini, aku sedang tidak bisa menikmati buku-buku seperti itu, gak tahu nanti. Kalau aku menemukan buku itu dulu ketika SMA atau awal-awal kuliah mungkin akan suka. Kalau mau menulis novel yang akan laku terjual pun, harusnya novel-novel seperti itu yang ditulis, atau seperti novel-novelnya Tere Liye dan Dee Lestari, yang kesemuanya itu, aku sudah tidak bisa menikmatinya. Selain yang sudah kusebutkan, Laut Bercerita-nya Leila S. Chudori juga sering-sering disebut. Novel yang sedang sangat populer, sehingga aku tidak tertarik untuk membacanya saat ini.

Aku sudah sering kecewa membaca buku-buku yang sedang booming, dibaca banyak orang, diphoto dan dipamerkan di media sosial mereka. Ambil saja satu contoh buku “Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat” itu buku gila-gilaan promonya, di mana-mana orang membicarakan buku itu. Ketika aku membeli dan membacanya, sepertiga halaman awal memang asik, tetapi lama-lama, “Kok gini?” Ketika semua orang membicarakan “Aroma Karsa”-nya Dee di awal tahun 2018, aku bisa menahan tidak membacanya, sampai akhir tahun 2019 buku itu masih saja terus dibicarakan. Hebat sekali buku itu. Aku tertarik membaca Aroma Karsa justru setelah membaca buku nonfiksinya, “Di Balik Tirai Aroma Karsa”. Aku ikut PO buku yang tidak terlalu banyak dibcarakan orang ketika promo sedang dilakukan. Diluar dugaanku, buku nonfiksi pertama yang ditulis Dee itu sungguh luar biasa. Aku bisa menikmatinya kalimat demi kalimat dan membuatku menjadi sangat penasaran dengan novel fiksinya yang akhirnya dapat kubeli di akhir tahun pada harbolnas 2019. Aku sempat berharap, memang sebagus itu makanya semua orang membicarakannya, tetapi yang terjadi… pfffft.

Heran aja kenapa aku justru sangat menikmati dan begitu terhibur ketika membeli dan membaca buku yang tidak begitu populer seperti Angsa Liar, Seribu Burung Bagau, Rumah di Tepi Danau, The Book of Sand. Sejauh ini buku yang tidak populer tetapi aku tersiksa baru “A Farewell to Arms” tapi anehnya setiap kali membaca satu paragraf sampai satu halaman, ada aja yang bisa aku tulis.

Kalau aku harus menyebutkan satu novel yang kelewat booming tapi memang bagus, aku mau bilang Kafka on The Shore. Bagaimana isinya? Haruki Murakami emang parah sih dia, sebagaimana novel-novelnya yang lain selalu eksplisit dan vulgar, bisa masuk genre erotica juga. Emang ngaco dia! Demen banget mengeksloitasi adegan sex.

Terpikir sebuah pertanyaan di benakku, mengapa aku tidak begitu menikmati novel-novel populer? Kenapa ya kira-kira, padahal mestinya ada buku-buku yang bagus di luar sana, tetapi kenapa begitu sulit untuk di temukan sampai-sampai aku mesti googling di Yahoo, mencari judul-judul buku lawas yang pernah terbit, karena pernah merasakan euforia yang meledak-ledak ketika menemukan sebuah buku yang tak pernah kusangka sangat bagus, padahal cuma pungut sembarangan ketika membelinya. Judul novel itu, The Pearl karya John Steinbeck. Itu novel yang sangat tipis dan kubaca dengan mengirit-irit, bahkan satu bagian aku membacanya sampai dua kali, biar gak cepet habis.

Sekarang ini ada dua buku yang sedang aku nikmati, dan aku betul-betul menikmatinya, “Mademoiselle Fifi” sebuah buku kumpulan cerpen Guy de Maupassant dan “Percikan Api Fajar” sebuah buku yang berisi tiga novelet karya penulis dari Papua Nugini.

Demikian, selamat pagi dan Selamat merayakan Hari Buku Nasional

3 thoughts on “Jurnal Pagi: Temanggung, 19 Mei, Membicarakan Tentang Buku

  1. berhubung ada menyebut nama Haruki Murakami (hihihihii…) apakah sudah sempat membaca yg Sputnik Sweetheart? kali aja suka juga.. kayaknya sih Sputnik Sweetheart ini ga terlalu booming tp ceritanya unik dibumbui hal2 absurd, hehehe… aku juga ga banyak baca buku populer yg ngetop saat ini, krn ternyata kebanyakan buku yg aku baca skrg ini justru buku2 lama yg diterbitkan ulang. tp emang sih, selera ga bisa dipaksakan. yg menurut orang keren kan blum tentu juga menurut kita ya. dan sebaliknya. selamat baca-baca!

    1. Belum kalau sputnik, keren kah? Atau masih khas Murakami, akulturasi Barat-Asia?

      Hah ha sama, bedanya kalau aku baca yang gak terbit ulang. Jadi tetep terbitan lama.

      Yoi selamat membaca.

      1. keren atau engga sih kembali ke yang baca. aku bilang sih bagus karena kena banget jadi emang sekedar rasa suka pribadi aja hehehehe. absurd sih tapi ya seru. heheheehe

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: