Jurnal Pagi: Menyederhanakan Hidup

Di hari aku bilang, aku sedang tidak baik-baik saja, memang aku sedang tidak baik-baik saja. Apa yang kurasakan, yang kualami dan yang kuamati dari orang-orang di masa ini, terlebih lagi generasi-generasi melenial adalah krisis personalitas. Ya krisis personalitas bukan identitas. Eh yang mana ya personalitas apa identitas? Lain kali aku bahas deh kalau personalitas dan identitas itu jelas beda, tapi seringkali orang-orang keliru, saling menukar satu sama lain dan gagal paham. Tapi gak papa mending gagal paham dari pada gagal ginjal, tapi jangan sampai gagal move on ya ha ha ha. Aku jadi inget temenku, gara-gara gagal move on terus gak jadi ngerjain skripsi, dan gitu deh! 😀

Apa yang dialami orang-orang ini adalah krisis personalitas—sementara personalitas dulu, kapan-kapan aku klarifikasi deh di jurnal yang lain, bukan jurnal pagi. It’s not your fault, not their fault, either. It’s our modern needs! Semakin modern kehidupan seseorang, kebutuhannya semakin komplek, imbasnya masalahnya pun semakin rumit. Ruwet ra karu-karuan.

Pagi ini udara begitu dingin, suhunya sekitar 18°C. Embun-embun tampak seperti perak yang berkemilauan indah tertimpa cahaya sisa malam dari rembulan yang temaram. Sesekali air sisa hujan kemarin itu jatuh bagai gerimis membasahi wajahku yang sedang lari pagi di bawah pohon-pohon rimbun yang menaungi sepanjang jalan keluar dari Desa Hujan. Kali ini aku sampai di tepi sungai yang sangat deras arusnya. Sungai itu mengalir dari bukit yang jauh di pedalaman hutan selatan. Sepanjang sungai itu terlihat buih yang sangat putih dan menyejukkan kalbu.

Aku berhenti sebentar, duduk bersila dan mengatur nafas. Deru arus yang tak berhenti itu seperti menggetarkan seisi dadaku. Kerik jangkrik dan kotekan katak begitu semarak berharmoni dengan bisikan angin yang menggesek-gesek bambu dan daun-daunnya. Aku jadi teringat komentar Mbak Ayu Frani, apa yang kutuliskan pada jurnal pagi seperti sebuah meditasi.

Aku setuju.

Seringkali aku tidak bisa kosentrasi jika harus bermeditasi dengan berdiam diri dan duduk menyepi, pikiranku sering berlarian kemana-mana. Bisa jatuh melamun dan lupa tujuan berdiam diri— guna merenung dan mengosongkan diri. Tetapi ketika aku lari, seperti yang kulakukan, aku mampu mengosongkan diriku sendiri dan hanya fokus pada pernafsan, sambil sesekali mataku mengamati keindahan dunia sekelilingku yang lambat-laun seperti nuansa ilham yang terhampar. Sesekali aku menyapa beberapa orang yang kebetulan kutemui. Dan mendengar tanggapannya yang ramah membuatku bahagia.

Krisis personalitas, kukira, dapat diatasi dengan meyederhanakan hidup. Meyederhanakan kebutuhan-kebutuhan modern kita yang tidak penting-penting amat.

Meditasi yang kulakukan dengan lari pagi itu membuatku teringat komentar Mang Nunu dan Mas Hape, perlu rasanya bagi kita untuk menyelami dunia tasyawuf. Merenungi hakikat hidup. Yang mana, untuk menyelaminya, di masa ini tidak mungkin dilakukan dengan menyendiri dan menyepi, namun justru harus turun gunung dan hidup seperti orang-orang kebanyakan, hanya saja, perlu aku tegaskan; perlu untuk menyederhanakan hidup dalam era dimana materialisme yang konsumtif ini telah menjadi berhala-berhala zaman baru.

7 thoughts on “Jurnal Pagi: Menyederhanakan Hidup

  1. Hallo babang, wuiihh energi hari ini, mantap, semoga sehat dan lancar selalu yang di sana, bagaimana keadaan di sana? Sudah tertibkah?

    1. Halo, Mamangkuh. Mantap jiwa emang. Amin. Semoga sehat selalu juga untuk mamang. Keadaan di sini masih biasa-biasa aja, cuma sedikit halu. Tertib. Aman.

  2. Pada akhirnya kita akan kembali ke zero, setinggi apapun pencapaian.
    Pripun kabare, mas Andi. Sehat selalu ya. 😀

    1. Kembali ke nol ya. Seperti di Pom Bensin. :v
      Sedang tidak baik-baik saja, Pak. Njenengan gimana? Amin 1000x semoga njenengan dan keluarga juga ya, sehat selalu. 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: