Jurnal Pagi: Belajar dari Mahbub Djunaidi

Sebelum menulis jurnal pagi untuk edisi hari ini, Ahad tanggal 7 Juni 2020, aku menyempatkan diri membaca sebuah buku. Buku lama yang jadi pilihanku, buku kumpulan kolom-kolom yang ditulis Mahbub Djunaidi. Ada jarak yang sangat jauh antara isi buku tersebut dengan diriku, seorang pembaca masa kini. Kolom-kolom pemikiran Mahbub Djunaidi itu ditulis pada era 70-an dan awal 80-an. Jadi aku benar-benar kesulitan menangkap kejadian apa yang melatarbelakangi penulisan kolom tersebut. Meskipun begitu, aku suka dengan gaya penyampaian dan kedalaman isinya.

Aku pun jadi membayangkan, seandainya saja maestro satire dan sarkasme itu hidup di zaman Twitter, seperti sekarang ini, satirnya pasti mengundang gelak tawa dan penuh kedalaman.

Untuk yang belum tahu Mahbub Djunaidi, saya kutipkan profil penulis dari buku yang diterbitkan oleh IRCiSoD, beliau Mahbub Djunaidi, lahir di Jakarta 22 Juli 1933. Ia memang bukan tipe pemikir layaknya Hegel atau Marx, yang pemikirannya mudah dijumpai dalam satu tulisan utuh. Tapi, keberaniannya dalam menyuarakan kebenraran dan membela wong cilik tak perlu diragukan, sampai-sampai ia dijuluki si burung parkit di kandang macan.

Wartawan-sastrawan, agamawan, organisatoris, kolumnis, politikus, serta sederet predikat lainnya yang disematkan di pundak Mahbub lantaran ia memiliki talenta yang sungguh luar biasa. Kritik-kritik sosial dalam tulisannya begitu tajam, begitu dalam. Tentu dengan ciri khas Mahbub: satire dan humoris. Karena kepiawaiannya dalam menulis, ia disebut pendekar pena, hingga Bung Karno terkesan karenanya.

Indonesia patut bersyukur karena dalam sejarah republik ini, pernah hadir tokoh luar biasa dan multi-talenta, yang sampai saat ini nyaris belum dijumpai tokoh sekaliber Mahbub.

Begitulah profil Mahbub Djunaidi.

Ketika membaca kolom demi kolom, sesuatu menarik perhatianku. Ada jarak yang jauh antara tanggal kolom yang satu dengan kolom yang lainnya, sekitar 15 hari atau dua minggu. “Oh jadi beliau tidak setiap hari menulis kolomnya,” begitu benakku berkata. Pantesan narasi dan kedalaman isinya terjaga dengan sangat baik.

Aku pun jadi melirik kepada jurnal pagiku, yang aku unggah setiap hari di jejakandi. Ya pantes saja isinya sama terus dan cenderung membosankan dan tidak ada perubahan atau isi yang segar.

“Ah gak papa,” kataku melakukan pembelaan. Aku menulis jurnal pagi kan untuk diriku sendiri, agar aku bisa memantau kedisiplinanku. Aku menulis karena aku ingin menulis. Sebagai sebuah latihan diri sebagaimana Miyamoto Musashi yang menyempurnakan latihan pedangnya dengan melukis. Aku menulis untuk mendisiplinkan diri. Tetapi paling tidak seminggu sekali akan aku usahakan ada yang berbobot. Hehe.. Ya nanti aku usahakan ada yang berbobot meskipun cuma sekali seminggu.

Membaca buku sudah, lalu beralih membaca koran. Apa yang kudapati. Lumayan menyenangkan, Timo Werner selangkah lagi jadi pemain Chelsea, kabarnya sudah negosiasi kontrak dan gaji. Kabar yang lain seperti biasa… corona!

Berita tentang pandemi coronavirus rasanya sudah basi sekali ya sekarang ini. Sejak awal muncul beritanya selalu sama, kalau tidak tentang penyebaran Covid nineteen, kebijakan-kebijakan baru dari pemerintah dan dampak yang terjadi akibat dari wabah yang mengguncang sendi kehidupan itu, ya paling soal kehidupan normal baru. Hanya seputar itu-itu saja. Jurnal pagiku pun seperti ikut-ikutan tidak bisa move on, ikut-ikutan itu-itu aja, karena ya informasi yang kudengar, yang masuk ke kepala hanya seputar itu saja. Ya gimana aku bisa mendengar atau menerima kabar yang lain kalau jurnalis juga meliputnya masih Jakarta sentris dan hanya soal itu-itu saja. Gimana gak setres ya orang macam kita-kita ini, yang enggak bisa nyari sendiri informasi terkini yang sedang terjadi di luar rumah kita.

Berita-berita yang muncul pada akhirnya cuma kubaca judulnya saja, selebihnya kalau ada yang agak menarik bacanya pun hanya sekilas dan lebih banyak skip skip-nya. Karena memang muali enggak ada isinya. Seperti jurnal pagiku sendiri, semakin ke sini isinya semakin tipis, dangkal dan san soyo gak jelas. Kalau ada yang bilang tulisan bisa menggambarkan diri seseorang, mungkin ada benarnya. Jadi jurnal pagi yang sedang dangkal ini seperti mencerminkan kedangkalan pikiranku. Bagaimana enggak dangkal ya, berita yang diterima sama terus setiap harinya. Mana sempat aku mencari berita lain ketika aku disibukkan dengan kerjaan. Mana sempat aku menulis berita sendiri, jangankan menulis mencari berita lain yang lebih menarik aja kesulitan, karena aksesnya ya memang dari koran langganan yang jurnalisnya juga enggak move on, masih ngomongin itu-itu saja.

Kenapa enggak bisa nyari sendiri aja kalau begitu? Jawabannya aku bukan jurnalis, itu satu. Yang kedua, memang tidak ada berita yang menarik yang ada di sekitarku. Yang selanjutnya, berita yang muncul simpang siur di sekitarku kredibelnya perlu dipertanyakan, ia tidak mengindahkan etika jurnalistik. Asal pungut tak ada tabayun atau cross check, yang bikin aku tambah pusing saja.

Tetapi mengandalkan jurnalis saja emang bagai makan buah simalakama. Kadang ada angenda khusus pada profesionalisme jurnalis. Mereka bisa jadi sedang mengusung misi tertentu. Bagai makan buah simalakama—yang sendiri belum pernah lihat sih sebetulnya buah simalakama itu seperti apa bentuknya—mananti jurnalis membuat laporan baru yang masih aja Jakarta sentris.

Ketimpangan yang disebabkan oleh Jakarta sentris semakin menjadi-jadi, peberlakuan kebijakan lockdown dulu sekali itu diambil berdasarkan informasi yang berada di sekitaran Jakarta. Lah wilayah lain yang kasus dan demografinya berbeda kok diberlakukan kebijakan yang sama pula? Akibatnya kekacauan. PSBB, New Normal, Kurikulum pendidikan, pemetaan ekonomi, kayaknya Jakarta sentris banget deh.

Keadaan media dewasa ini semakin mencemaskan, sudah mulai jarang surat kabar cetak. Satu persatu mereka mulai berguguran.

Sebenarnya apa sih perbedaan yang paling mendasar antara media cetak dan media online? Mengapa keruntuhan media cetak berangsur-angsur mengubah pola pikir masyarakat dan mempercepat disrupsi, kedangkalan isi berita?

Berita yang muncul melulu mengejar kecepatan sehingga sejenak melupakan kedalaman. Rausa jeru-jeru sik penting cepet. Akibatnya kecerobohan sering terjadi pada jurnalis, sehingga beritanya terkesan menghakimi. Dan pelan-pelan peran sisi humanismenya terkikis, bahkan telah menggeser standar baru humanisme. Sisi kemanusiaannya bergeser. Dulu ketika kami mendengar berita pencurian, pemerkosaan, perampokan dan pembunuhan bulu kuduk kami merinding dan itu menjadi berita besar yang sangat heboh. Sekarang berita seperti itu, kayak remahan rempeyek aja. Sungguh terlalu.

6 thoughts on “Jurnal Pagi: Belajar dari Mahbub Djunaidi

    1. Eh Mbak Nadia, monggo… Monggo pinarak.

      Bisa enggak bisa dipaksain bisa, Mbak. Biar disiplin. Selama ini dadakan aja, Mbak. Sak metu metune. ????

      1. matur nuwun, nanging kulo langsungan mawon nggih, tesih enten gawean teng griyo..

        hoo I see I see. Abisnya isi tulisannya bagus gitu, ga ngasal kayak asal jadi yang penting ngepost. Makanya aku wondering apakah udh dikonsep dari malam sebelumnya ???? good job mas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: