
Selamat pagi Indonesia, selamat datang bulan Juni, selamat datang new normal, dan selamat datang semuanya. Selamat menyusun agenda baru untuk penyesuaian-penyesuaian baru. Lalu, agenda apakah yang ingin dijadikan sebagai tumpuan untuk menyongsong hari-hari di masa depan? Aku memilih kedisiplinan.
Everyday is everything new, kapanpun kamu ingin memulai hal yang baru tidak perlu menunggu momentum, setiap hari bisa menjadi segala awal dan langkah yang baru. Aku ingin lebih disiplin dalam segala hal. Meskipun, dalam kedisiplinan, aku masih selalu kesulitan untuk mengukur apa indikatornya, tetapi aku sangat sadar bahwa disiplin adalah sebuah kunci untuk sebuah keberhasilan.
Dan yang lebih penting dari sebuah keberhasilan, dalam kamus hidupku keberhasilan bukanlah sebuah tujuan dan kegagalan bukanlah akhir, namun keberhasilan dan kegagalan hanyalah bayangan. Ia hanyalah sebuah titik dari perjalanan waktu, bukan sebuah indikator. Ia adalah buah dari penerapan kedisiplinan; bisa atau tidak untuk bersikap disiplin.
Disiplin ini begitu penting, sebab disiplin dalam berbagai hal akan menumbuhkan kepercayaan. Kepercayaan diri, keyakinan akan sebuah sukses yang menanti; sebuah senyum yang telah menunggu untuk dijemput. Bahkan kepercayaan publik pada pemerintah pun akan tumbuh melalui kedisiplinan; kedisiplinan pemerintah dalam menerapkan kebijak-kebijakannya. Jadi kalau dibuat lebih sederhana, kepercayaan anggota atau rekan kerja pada pimpinan organisasi akan tumbuh kuat dan melahirkan dukungan sepenuh hati kepadanya apabila kedisiplinan benar-benar diterapkan dalam setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.
Saat menuju normal baru nanti aku ingin ada sebuah kolaborasi baru, yang terutama adalah kolaborasi antara optimisme dan gairah untuk mewujudkannya. Kolaborasi antara kebugaran fisik dan semangat dari jiwa yang berseri-seri. Kolaborasi antara ide-ide dan keberanian untuk mengeksekusinya. Kolaborasi antara do’a dan usaha. Kolaborasi antara yang dicari dan yang sedang mencari, Eh! :V
Dengan adanya kolaborasi-kolaborasi itu pada akhirnya akan menjadikan disiplin bukan semata-mata istilah belaka; sehingga aku tidak perlu terlalu sering mengatur diri sendiri tetapi telah mampu menjaga nafas disiplin dalam hidup. Sebab disiplin yang hanya sebatas istilah tak akan membuahkan apa-apa.
Aku jadi ingat kejadian saat lebaran idul fitri kemarin yang membuatku sampai pada kesimpulan kalau masyarakat benar-benar telah melakukan hal yang benar untuk menunda lebaran. Ya ketika kemarin dihimbau agar menunda perayaan lebaran, masyarakat benar-benar melakukannya. Jalan-jalan sepi, tidak ada open house, atau silaturahmi fisik sampai hari keempat. Setelah hari keempat dan portal yang menutup desa dibuka, masyarakat memulai lebaran yang sudah ditunda itu. Jadi pada hari kelima, dimulai lah silaturhami dari rumah ke rumah, lebaran telah dimulai dan jalan-jalan menjadi ramai. Oalah-halah… pancen bener lebarannya ditunda, makanya setelah masa tunda selesai, lebarannya dilanjutkan. Tertawa iya, geli iya, marah? Enggak! Aku cuma bisa geleng-geleng, mantap nih orang-orang, bener juga mereka, memang menunda bukan meniadakan.
Dengan kejadian-kejadian seperti ini, aku sadar betul bahwa aku tidak perlu capek-capek untuk memberikan pemahaman kepada mereka, lebih baik kalau aku mendidik diri sendiri saja. Terus mendidik diri untuk tetap bisa menjaga apa yang kita miliki; rasa belas kasih, kasih sayang, dan keras terhadap diri sendiri untuk menggiatkan disiplin tinggi.
Meskipun disiplin tinggi kadang seperti masih tidak membuahkan apa pun, new normal yang diberlakukan di Korea Selatan misalnya. Kejadian setelah menerapkan new normal di sana mungkin telah memupus harapan banyak orang; tiba-tiba terjadi sebuah gelombang baru pandemi coronavirus, tetapi harapan tak boleh sirna.
Ya harapan tak boleh sirna. Sebab, seperti kata seorang da’i yang kata-katanya selalu aku kutip dan selalu aku ingat sejak pertama kali mendengarnya dulu sekali di bulan Juli tahun 2012, beliau mengatakan, “Dengan iman kita akan selalu memiliki harapan.” Jika kita tetap memiliki harapan, paling tidak masih ada iman yang tersisa di dalam diri kita ketika dunia hancur binasa. Harapan tak boleh sirna, ia adalah cermin diri kita bahwa kita masih memiliki iman kepada kuasa Tuhan Pemelihara Alam Raya.