Bagaimana Jika Aku Gagal Menjawab atau Memahami Pertanyaan “Apakah Alam Semesta Itu Qadim (azali) atau Hudus (baru)?”

Bagaimana jika aku gagal menjawab atau memahami pertanyaan “Apakah alam semesta itu qadim (azali) atau hudus (baru)?” Konsekuensi yang akan terjadi dalam hidupku jika aku gagal memahami dan menjawab pertanyaan itu yakni pondasi keberagamaan saya runtuh dan berantakan. Tentu saja saya kian tidak tahu dengan pasti ‘apa’ pijakan saya, yang dapat kujadikan pegangan, dalam hidup ini.

Jika pondasi keberagamaan saya runtuh, pondasi etika saya pun juga runtuh. Sebab, apa gunanya etika ketika tidak ada hari perhitungan (yaumul hisab) yang akan menjadi hari ketika segala perbuatan baik dan buruk manusia akan mendapatkan pengadilan. Jika pondasi keberagamaan saya runtuh, karena saya gagal menjawab apakah alam semesta itu barang jadian, sesuatu yang baru, hudus, yang diciptakan, makhluk. Ataukah ia qadim, sesuatu yang azali. Jika saya gagal menjawab itu, aku pun jadi tidak tahu dalam hidup ini mau ngapain lagi.

Sore ini hujan di luar begitu deras, langit luas yang kuharapkan untuk menenangkan sedikit kalutku tak terlihat. Ia terhalang mendung yang begitu kelabu. Hari Kamisku tak begitu manis kali ini. Perasaanku begitu kacau, kalut dan semrawut. Semangatku hari ini juga tak begitu hangat, akhir pekan yang hanya menyisakan 30% semangat. Tenaga tampak habis terkuras oleh minggu-minggu yang berat. Kemarin-kemarin aku sibuk, namun semangat masih menyala terang. Banyak halaman-halaman buku yang kubaca dengan baik. Termasuk buku Majmu’ah Rasail karangan Imam Al-Ghazali sang Hujjatul Islam. Buku yang memberiku kesegaran, juga buku yang sama, yang membuat semangatku hari ini mengalami down yang luar biasa.

Aku tidak yakin sepenuhnya, apakah buku ini yang membuat semangatku menurun hari ini, atau hal lainnya. Tetapi tampaknya aku begitu lelah. Banyak hal bertumpuk-tumpuk tak bisa kukendalikan dari mana datangnya, dan tak bisa kukendalikan kehadirannya. Betapa aku ingin sekali mengabaikan semua itu, tetapi serangannya datang bagaikan hujan, tak bisa kutahan. Rasanya lelah adalah akumulasi dari berbagai banyak hal yang menggumpal menjadi sesuatu yang sulit diurai. Dari pada terus-terusan tak jelas, aku kembali ngedraft. Menulis bebas apa adanya. Merekam jejak baca, sebagaimana aku dulu suka merekam apapun di jejakandi.

Jadi… Sore ini aku masih melanjutkan bab Mi’raj As-Salikin. Tangga-tangga pendakian. Tangga pendakian pertama yang membahas tentang jisim dan tangga pendakian kedua tentang jiwa. Kedua tangga pendakian dari 7 tangga pendakian itu telah aku baca kemarin lusa. Tangga-tangga yang membuatku terpukau dan hanyut dalam resapan kata-katanya. Namun sore ini, ketika membaca mi’raj tangga ketiga aku mengalami kekosongan pemahaman. Tangga ketiga berkaitan dengan banyak hal, tetapi di awal, Mi’raj ini berkaitan dengan status alam semesta. Apakah ia merupakan suatu jadian ataukah qadim. Saya bisa memahami premis ini, dan penjelasan-penjelasannya mengarah kemana. Tetapi saya masih terjebak pada ketidakmampuan akal saya memahami argumen mengenai alam semesta.

Tentang pertanyaan filsafati dan argumen-argumen mengenai alam semesta apakah ia qadim atau hadis tak pernah memuaskan aku. Ia selalu akan mengajakku kembali kepada argumen-argumen yang diperdebatkan dalam kitab Tahafut. Dan itu selalu membuatku pusing dan terjebak. Aku selalu merasa tak berguna ketika bersinggungan dengan kitab itu. Aku tak berdaya memahami logika-logika dan argumen yang semuanya benar namun bisa saling kontradiksi itu. Hal-hal yang telah diperdebatkan sejak dulu kala, tak pernah habis. Tetapi mengapa ia terus diperdebatkan? Karena ia bisa menjadi semacam statue, semacam tonggak, apakah seseorang akan memilih beragama atau memilih atheis.

Akhirnya aku kembali lagi membuka bukunya Iqbal mengenai kemungkinan agama dan filsafat dalam menjawab dan menjadi jembatan pengetahuan dan pengalaman religius.

Ya pembacaanku hari ini mengantarku untuk membuka kembali pemikiran Iqbal. Iqbal menghidangkan kembali pertanyaan-pertanyaan dengan jernih. Bahwa pertanyaan-pertanyaan mengenai alam semesta disinggung oleh Iqbal sebagai suatu pertanyaan yang lazim dan niscaya dalam agama, filsafat, dan sastra. Iqbal juga menegaskan bahwa al-Qur’an, yang menjadi pijakan umat Muslim khususnya dan petunjuk bagi manusia umumnya, adalah kitab yang menekankan pada perbuatan daripada pemikiran. Oleh karena itu ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai banyak hal, ia menyinggung fungsi dan kedudukan sastra, agama dan filsafat.

Menurut Iqbal agama tumbuh lebih tinggi dan lebih maju daripada sastra. Karena agama bergerak dari individu menuju masyarakat. Bahkan agama memperluas klaim manusia mengenai kebenaran dan kemungkinan visi langsung mengenai Realitas. Berbeda halnya dengan puisi dan sastra yang membawa inspirasi jenis pengetahuan yang pada dasarnya bersifat individual, kiasan, samar dan tidak pasti.

Sementara fungsi filsafat dan semangat filsafat adalah semangat penyelidikan bebas. Selalu meragukan segala bentuk otoritas. Fungsinya menggeledah asumsi-asumsi yang tidak kritis dari pemikiran manusia hingga ke tempat persembunyiannya yang paling dalam. Lantas apakah mungkin filsafat yang sepenuhnya rasional dapat menjawab semua permasalahan agama. Apakah mungkin menerapkan metode filsafat pada agama?

Semangat filsafat inilah yang aku bawa sampai pada tingkat tertentu. Dan ketika sore ini aku menekuri bacaanku pada Bab Alam semesta, semangat filsafat, yang dibahas di Majmu’ah Rasail juga dibahas di tahafut. Baik itu Tahafut al falasifahnya Imam al-Ghazali ataupun tahafut at tahafutnya Ibnu Rusyd, telah membawaku pada suatu pengakuan yang begitu jujur. Bahwa aku tidak mampu, akalku tidak sampai membayangkan dan menguasai argumen mengenai alam semesta itu. Dan apa konsekuensinya jika ia qadim ataupun jika ia hudus.

Jika suatu saat aku dapat memahami dengan gamblang bahwa alam semesta itu adalah suatu jadian, tentu itu berarti satu hal: aku telah selangkah lebih maju dari hari ini. Oleh karena ketidakmampuanku untuk mengetahui apakah sebenarnya alam semesta itu qadim atau hudus, aku kembali kepada iman. Bahwasannya iman itu percaya karena tidak tahu, bukan percaya karena sudah tahu.

Jadi rangkaian hipotesis yang aku bangun untuk menenangkan diriku pada permasalahan ini kira-kira begini: dua sifat wajib bagi Allah akan saya singgung di sini. Pertama, sifat wajib bagi Allah itu qadim, azali, dahulu, tiada apapun yang mendahului Allah. Jadi jangan bayangkan ada suatu kekosongan sebelum Allah ada. Yang kedua, sifat wajib bagi Allah itu Mukhalafatul lil hawaditsi, berbeda dengan makhluk. Laisa kamislihi syaiun. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengannya. Sehingga sesuatu selain Allah, termasuk alam semesta adalah makhluk. Dan itu bersifat tidak qadim alias hudus, sesuatu yang baru. Hipotesis dan pertanyaan harus berhenti di situ jangan lagi ada pertanyaan mengapa Allah menciptakan Alam di saat itu bukan setelahnya atau sebelumnya.

Karena aku bijaksana, bahwa, ada hal yang lebih berguna ketimbang memikirkan satu hal yang telah usang, telah dibahas sejak ribuan tahun yang lalu itu. Aku mencukupkan diri sampai di sini.

Tetapi dasarnya setan, ia meniupkan was-was dalam diri manusia. Ia meniupkan keragu-raguan padaku. Suatu bahasan yang telah aku patenkan, aku yakinkan, dan tidak ada lagi keragu-raguan sejak bertahun-tahun yang lalu sejak aku masih SD bahwa apa dasarnya bahwa Allah itu qadim? Setan telah meniupkan keragu-raguan padaku tentang apa yang aku lupakan.

Apa dasarnya bahwa Allah itu qadim. Sejauh ingatanku, aku hanya menghafal sifat itu dari Nadzom Aqidatul Awwam dan Kifayatul Awwam. Lho itu kan bukan dalil al-Qur’an. Supaya lebih meyakinkan, dan tidak lagi ragu-ragu, supaya kali ini keyakinanku lebih mantap aku cari-cari lagi daan alhamdulillah ketemu Surat al Hadid ayat 3:

هُوَ الْاَوَّلُ وَالْاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Alhamdulillah sudah tenang. Dan hariku, aku tutup dengan membaca tafsir surat ini dari Kitab al-Misbah.

Demikian saya Andy Riyan dari Desa Hujan. Salam!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: